Cara Membersihkan Harta Dari Uang Haram
Membersihkan Harta Haram yang Diinvestasikan di Bangunan Fisik
BABAGIMANA CARANYA MEMBERSIHKAN HARTA HARAM YANG DIINVESTASIKAN DI BANGUNAN FISIK DAN APAKAH BOLEH MENGAMBIL UNTUK KEBUTUHANNYA?
PertanyaanAda seseorang yang telah mengumpulkan banyak kekayaan dari melakukan perbuatan keji (zina), akan tetapi sekarang telah bertaubat. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang, hartanya sekarang dibagi menjadi dua bagian: Satu bagian ada di tiga bank Eropa, berjumlah lebih dari 100.000.000 Dollar. Dan bagian kedua diinvestasikan, untuk membangun gedung 15 apartemen, 3 pertokoan dengan cara disewakan. Semenjak ia bertaubat dia belum pernah menyentuh harta yang dihasilkan dari menyewakan gedung tersebut, semua harta tersebut ditaruh di bank.
Sekarang dia hidup dengan harta yang halal yang didapat dari menyewakan sawah orang tuanya, akan tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dia juga sedang sakit, membutuhkan biaya operasi, ia menolak untuk dibiayai dengan harta haramnya, dia bertanya apa yang harus diperbuat dengan harta haramnya ?, bagaimana yang seharusnya ia lakukan dari harta hasil sewa yang ada di bank ? apa yang seharusnya dilakukan dengan hartanya yang ada di bank Eropa ?, saya mohon jawabannya dengan rinci; karena dia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya, dia juga berfikir untuk mengambi sebagian hartanya yang tersimpan di bank eropa, menginvestasikannya, dan setelah itu uang pokoknya mau disedekahkan, maka apakah hal itu dibolehkan ?, ia juga mempunyai usaha laundry besar yang dibangun dengan harta haram juga, setelah ia bertaubat ia menutup usahanya tersebut dan tidak memanfaatkannya. Bagaimana seharusnya yang ia lakukan dengan laundry dan gedung tersebut demikian juga dengan hasil sewa gedung?JawabanAlhamdulillah.
Pertama: Barang siapa yang mendapatkan harta dari cara yang haram, seperti zina, suap atau upah penyanyi, kemudian ia bertaubat, jika dia sudah membelanjakan hartanya maka tidak ada masalah.
Namun jika harta tersebut masih berada di tangannya, maka ia wajib melepaskannya dengan cara menginfakkannya untuk jalan kebaikan, memberikannya kepada fakir dan miskin.
Kecuali jika dia masih membutuhkannya, maka ia boleh mengambilnya sesuai kebutuhannya dan melepaskan sisanya.
Ibnu Qayyim –rahimahullah- berkata:“Masalah yang kedua: jika seseorang telah melakukan barter (transaksi) dengan orang lain dengan cara yang haram, ia pun telah menerima imbalannya, seperti; pezina, penyanyi, penjual khomr, persaksian palsu, dan lain sebagainya, kemudian bertaubat dan hasil transaksi itu masih berada di tangannya, maka:Sebagian ulama berkata:“Dikembalikan kepada pemiliknya, karena hartanya itu diterima tanpa adanya izin dari pembuat syari’at (Allah), tidak juga dengan menerimanya mendatangkan manfaat yang mubah”.Sebagian lainnya mengatakan:Akan tetapi taubatnya dengan cara mensedekahkannya, dan tidak membayarkannya kepada orang yang memberinya. Inilah pendapat syeikh Ibnu Taimiyah dan inilah yang lebih tepat dari kedua pendapat di atas. (Madarikus Salikin: 1/389)Ibnu Qayyim telah membahasnya dengan panjang lebar tentang masalah ini di dalam Zaadul Ma’ad (5/778) dan beliau menentukan bahwa cara untuk membebaskan diri dari harta tersebut dan sebagai bentuk kesempurnaan taubatnya, hanya dengan cara mensedekahkannya.Namun jika masih membutuhkannya, maka ia boleh mengambilnya sesuai dengan kebutuhannya dan mensedekahkan sisanya.Syeikh Islam berkata:“Jika seorang wanita bertaubat dari perbuatan zina dan seorang laki-laki dari minum khamr, sedangkan mereka dalam kondisi fakir, maka mereka dibolehkan mengambil dari harta tersebut sesuai dengan kebutuhannya.Jika dia mampu untuk berdagang atau memproduksi sesuatu, seperti; merajut, memintal benang, maka diberikan harta pokoknya saja.Dan jika mereka mengambil dengan akad hutang untuk dijadikan modal berdagang, maka dengan akad hutang lebih baik”. (Majmu’ Fatawa: 29/308)Atas dasar itulah maka:Maka dibolehkan bagi laki-laki tersebut untuk mengambil dari harta haramnya sesuai dengan kebutuhannya, untuk keperluan operasi atau untuk belanja harian.Atau mengambil sebagian untuk dijadikan modal usaha sebagai bekal hidupnya. Kemudian mensedekahkan harta pokok yang ia pinjam, kapan saja setelah dia mampu.Atau sejak awal dia berakad untuk meminjam harta tersebut, dan berniat untuk mengembalikannya jika sudah mampu nantinya.Tidak masalah jika gedung dan laundrynya dijadikan sebagai harta pokok untuk usaha dengan mengambil sebagian harta yang ia butuhkan dan membebaskan diri dari sisanya.Kedua: Tidak boleh menyimpan harta di bank-bank ribawi, kecuali dengan niatan untuk menjaga keamanan dan hanya menyimpannya sebatas pada rekening berjalan bukan untuk simpanan penuh.Tidak ada kebutuhan dalam hal ini untuk menjaga harta, akan tetapi sebaiknya segera membebaskan diri dari harta haram tersebut dengan cara diberikan kepada fakir miskin, membangun sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakit, dan lain sebagainya untuk kemaslahatan kaum muslimin.Semoga Allah menerima taubatnya dan mengampuninya.Wallahu A’lamDisalin dari islamqa
Islam melarang mengambil harta secara zalim. Jika sudah terlanjur, para alim ulama menyarankan untuk bertobat dari harta haram. Ada cara-cara khusus untuk hal ini.
Ibnu Qudamah, imam ahli fikih dan zuhud, membagikan sejumlah cara bertobat dari harta yang diambil secara zalim. Ia menerangkan hal ini dalam salah satu kitabnya, Mukhtashar Minhajul Qashidin yang diterjemahkan Abdul Majid Lc.
Ibnu Qudamah menjelaskan orang yang akan tobat wajib memilah hartanya lalu mengeluarkan yang haram. Jika antara harta halal dan haram sudah tercampur dan sulit dibedakan karena tidak ada padanan, kata Ibnu Qudamah, orang itu bisa mengambil harta berdasarkan yang terkuat atau mengambil hartanya berdasarkan sesuatu yang meyakinkannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika harta haram yang dikeluarkan diketahui jelas siapa pemiliknya, ia wajib memberikan kepadanya atau ahli warisnya. Jika harta tersebut bertambah, ia harus menggabungkan harta itu lalu memberikan semuanya kepada mereka.
Apabila sudah berusaha keras tapi tetap tidak mengetahui keberadaan pemilik harta dan ahli warisnya, maka harta ini bisa disedekahkan. Adapun, apabila harta ini adalah harta rampasan perang dan yang disiapkan untuk keperluan umat Islam maka ia wajib membelanjakannya untuk membangun fasilitas umum, seperti jembatan, masjid, jalan-jalan Makkah atau jalan lain yang bermanfaat bagi umat Islam.
Ibnu Qudamah juga menjelaskan, apabila seseorang memiliki harta campuran halal dan syubhat, maka ia dianjurkan menggunakan yang halal untuk mencukupi kebutuhannya sendiri seperti makan dan pakaian, sedangkan yang syubhat bisa untuk upah tukang bekam, membeli minyak, dan menyalakan lampu.
Hal tersebut bersandar pada sabda Nabi SAW tentang upah untuk tukang bekam, "Pergunakanlah ia untuk memberi makan untamu."
Seorang anak juga dilarang ikut memakai harta haram orang tuanya.
Harta Haram Jadi Penghalang Terkabulkannya Doa dan Menyebabkan Tertolaknya Amal
Larangan memakan harta haram dijelaskan dalam Al-Qur'an dan hadits. Allah SWT berfirman dalam surah An Nisa' ayat 29,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا ٢٩
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil (tidak benar), kecuali berupa perniagaan atas dasar suka sama suka di antara kamu. Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu."
Menurut Tafsir Al-Qur'an Kementerian Agama RI, ayat tersebut berisi larangan mengambil harta orang lain dengan jalan yang tidak benar, kecuali dalam perniagaan yang berlaku atas dasar kerelaan bersama.
Dalam kitab Shahih Ibnu Hibban terdapat riwayat dengan sanad hasan yang menyebut harta haram dapat menyebabkan tertolaknya amal kebaikan. Rasulullah SAW pernah bersabda,
"Barang siapa memperoleh harta dengan cara yang haram, kemudian ia shadaqahkan, maka tidak akan mendatangkan pahala dan dosanya ditimpakan kepadanya." (HR Ibnu Hibban)
Riwayat lain menyebut memakan sesuatu yang haram menyebabkan amal ibadah tak diterima selama 40 hari. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA bahwa Sa'ad bin Abi Waqash berkata kepada Nabi SAW, "Ya Rasulullah, doakanlah aku agar menjadi orang yang dikabulkan doa-doanya oleh Allah!"
Rasulullah SAW menjawab, "Wahai Sa'ad perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya. Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amalnya selama 40 hari dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba, maka neraka lebih layak baginya." (HR ath-Thabrani)
Oleh Ustadz Dr. Erwandi Tarmidzi
Pegertian Harta Haram Yang dimaksud dengan harta haram adalah setiap harta yang didapatkan dari jalan yang dilarang syariat[1].
Faktor Penyebab Akad Menjadi Tidak Sah Dan Hassilnya Merupakan Harta Haram Ada 3 faktor yang menyebabkan sebuah akad tidak sah sehingga hasilnya menjadi harta haram, yaitu: riba, gharar dan zhulm.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sebuah akad yang tidak mengandung unsur gharar, riba dan zhulm tidak mungkin diharamkan syariat[2].”
Ibnu Utsaimin rahimahullah juga mengatakan, “Faktor penyebab muamalat diharamkan adalah riba, zhulm dan gharar“[3].
Berikut ini akan dijelaskan secara ringkas pengertian faktor-faktor penyebab muamalat menjadi diharamkan.
1. Riba Secara bahasa riba artinya bertambah, sedangkan menurut istilah riba adalah menambahkan beban kepada pihak yang berhutang, atau menambahkan takaran saat melakukan tukar-menukar 6 komoditi (yaitu emas, perak, gandum, sya’ir, kurma dan garam) dengan jenis yang sama, atau tukar-menukar emas dengan perak dan makanan dengan makanan dengan cara tidak tunai.
Riba terbagi menjadi :
2. Gharar Secara bahasa gharar berarti resiko, tipuan, dan menjatuhkan diri atau harta ke jurang kebinasaan. Secara istilah gharar adalah jual beli yang tidak jelas kesudahannya. Sebagian Ulama mendefinisikannya dengan jual-beli yang konsekuensinya antara ada dan tidak.
Jenis gharar yang diharamkan: a. Nisbah (prosentase) gharar dalam akad itu besar Jika nisbah (prosentase) gharar yang ada dalam sebuah akad sangat besar maka akad ini diharamkan. al-Bâji berkata, “Gharar dalam jumlah besar, yaitu rasionya dalam akad terlalu besar sehingga orang mengatakan bahwa jual-beli ini adalah jual-beli gharar.”
b. Keberadaan gharar dalam akad itu mendasar. Jika keberadaan gharar dalam akad merupakan pokok dari akad tersebut, maka akad ini menjadi haram. Ibnu Qudâmah rahimahullah berkata, “Gharar yang terdapat pada akad yang statusnya sebagai pengikut dibolehkan … seperti: menjual kambing yang sedang menyusui (menjual susu dalam kantung susu hewan mengandung unsure gharar, akan tetapi dibolehkan karena statusnya hanyalah sebagai pengikut dalam transaksi), hewan ternak bunting (menjual janin di dalam perut induknya mengandung gharar, akan tetapi dibolehkan karena statusnya hanya sebagai pengikut dalam transaksi) … dan tidak boleh bila dijual terpisah (seperti menjual janin hewan ternak saja yang masih berada dalam perut induknya)“.
c. Akad yang mengandung gharar itu bukan termasuk akad yang dibutuhkan orang banyak. Dibolehkan melakukan akad yang mengandung gharar jika akad tersebut dibutuhkan orang banyak, sedangkan jika sebaliknya maka akad menjadi haram. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Bila akad yang mengandung gharar sangat penting, bila dilarang akan sangat menyusahkan kehidupan manusia maka akadnya dibolehkan“.
d. Gharar yang terjadi pada akad jual-beli. Boleh melakukan akad yang mengandung gharar jika akad tersebut terjadi pada hibah/wasiat, sedangkan untuk akad-jual beli hukumnya dilarang.
3. Zhalim Zhulm berasal dari bahasa Arab yang berarti menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Dalam bahasa Indonesia biasa diterjemahkan dengan berbuat zhalim.
Menurut istilah zalim berarti mengerjakan larangan serta meninggalkan perintah Allâh Azza wa Jalla . Dengan pengertian ini, maka setiap perbuatan yang melampaui ketentuan syariat adalah perbuatan zhalim yang diharamkan, baik dengan cara menambah atau mengurangi.
Penggunaan Harta Haram Jika seseorang mengetahui dan menyadari bahwa tenyata pada sebagain hartanya ada harta haram maka yang harus kita lakukan adalah bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla . Untuk menyempurnakan taubatnya hendaklah ia mengeluarkan seluruh harta haram tersebut karena hakikatnya harta haram bukan miliknya.
Al-Ghazali rahimahullah berkata dan dinukil oleh Imam Nawawi rahimahullah bahwa itu merupakan pendapat Ulama Syâfi’iyyah, “Barangsiapa hanya memegang harta haram, maka ia tidak ada kewajiban berhaji, tidak ada kewajiban membayar kafarat karena ia diangggap tidak memiliki harta, tidak wajib zakat, karena zakat dikeluarkan dari 1/40 harta, sedangkan pemegang harta haram wajib mengeluarkan seluruh harta haram dengan cara dikembalikan kepada pemiliknya jika diketahui keberadaannya atau dibagikan kepada fakir miskin jika pemiliknya tidak diketahui.”[4]
Tata Cara Bertaubat Dari Harta Haram Berikut ini rincian cara bertaubat dari harta haram: 1. Cara Bertaubat Dari Harta Haram Yang Merupakan Hasil Dari Muamalat Yang Dilakukan Tanpa Saling Ridha Dan Keberadaan Pemiliknya Yang Sah Masih Diketahui Cara bertaubat dari barang atau uang hasil muamalat jenis ini adalah dengan cara mengembalikan barang atau uang kepada pemiliknya. Berdasarkan uraian ini, maka uang hasil korupsi wajib dikembalikan kepada pihak yang dirugikan, uang hasil jual-beli dengan cara penipuan wajib dikembalikan selisih antara harga normal dengan harga yang dijual kepada pembelinya, begitu juga dengan jual-beli barang dengan cara terpaksa[5].
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَ
Tangan yang mengambil barang orang dengan cara yang tidak diridhainya wajib menanggung barang tersebut hingga dikembalikan kepada pemiliknya. [HR. Ahmad. Menurut al-Arnauth derajat hadis ini Hasan lighairihi]
Barang atau uang yang didapat dengan muamalat tanpa saling ridha wajib dikembalikan jika diketahui pemiliknya dan masih ada barangnya serta belum terjadi perubahan pada bentuk fisiknya.
Jika barang atau uang tersebut lenyap sama sekali, maka untuk kesempurnaan taubatnya dia harus menggantinya atau meminta pemilik hak merelakannya.
.Jika terjadi perubahan pada barang, maka perubahan itu terjadi dalam beberapa bentuk : a. Perubahan yang menyebabkan nilai barang menjadi berkurang. Pada kondisi ini orang yang berbuat dosa tadi hendaknya menyerahkan barang yang telah berubah nilainya itu serta memberikan ganti rugi sesuai dengan kekurangan atau penyusutan nilai barang tersebut. b. Perubahan yang menyebabkan nilai barang menjadi bertambah, seperti kambing menjadi lebih gemuk atau beranak. Pada kondisi ini, menurut salah satu pendapat dalam mazhab Hambali bahwa nilai tambah dari barang tersebut adalah milik kedua belah pihak yang harus dibagi rata. Pendapat ini lebih adil.
Jika terjadi perubahan pada uang, maka perubahan itu ada dua macam : a. Jumlah uangnya berkurang. Dalam kondisi ini, pelaku kezhaliman berkewajiban menambahnya atau meminta keikhlasan pihak yang dirugikan. b. Jumlah uangnya bertambah, disebabkan pemilik yang tidak sah ini mengembangkannya dalam bentuk usaha, seperti seorang koruptor menginvestasikan uang hasil korupsinya dan mendapatkan laba yang banyak. Pada saat dia bertaubat, apakah modal dan keuntungan semuanya diserahkan kepada pemilik yang yang sah ? Dalam hal ini sebagian Ulama berpendapat bahwa modal dikembalikan kepada pemilik yang sah. Adapun keuntungan dibagi dua antara pemilik yang sah dan pengembang. Pendapat ini didukung oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah dan Ibnu Qayyim rahimahullah.
Pendapat ini berdalil dengan kisah mudhârabah antara Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma dengan modal harta negara yang dititipkan oleh Abu Musa al Asy’ari Radhiyallahu anhu.
Dari atsar ini dapat diambil hukum bahwa keuntungan dari usaha yang modalnya berasal dari harta milik orang lain merupakan milik bersama antara pemilik modal yang sah dan pengembang modal yang keberadaan modal di tangannya tidak sah.
Harta Haram Dari Hasil Muamalat Yang Tidak Saling Ridha dan Tidak Diketahui Keberadaan Rekan Transaksinya Harta haram yang didapat dengan jalan tidak saling ridha antara dua orang yang bertransaksi dan tidak diketahui lagi keberadaan rekan transaksinya, serta tidak memungkinkan untuk mengembalikan barang atau uang kepada pemiliknya yang sah, maka untuk kesempurnaan taubat pemegang harta haram ini hendaklah menyedekahkan barang atau uang itu kepada para fakir-miskin, atau untuk pembangunan fasilitas umum dan untuk kemaslahatan lainnya. Dengan syarat sedekah diniatkan atas nama pemilik barang atau uang yang sah. Jika nanti di kemudian hari pemiliknya diketahui hendaklah ia memberikan pilihan kepadanya antara rela dengan uangnya yang telah disedekahkan atau ia menggantinya dan sedekah berubah menjadi miliknya (atas namanya).
Pendapat ini berdasarkan atsar dari Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu bahwa ia membeli seorang budak. Lalu Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu membawa budak itu masuk ke rumah, kemudian ia menimbang uang emas sebagai harga budak tersebut.
Pada saat Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu keluar untuk menyerahkan uang kepada penjual budak, ia sudah tidak menemukan lagi penjual budak itu. Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu berusaha mencari serta menunggu penjual budak selama setahun. Setelah satu tahun berlalu, ia tidak juga menemukannya. Lalu ia sedekahkan uang harga budak itu seraya berkata, “Ya Allâh , sedekah ini atas nama pemilik budak, jika nanti dia datang maka akan aku beri dia pilihan antara sedekah tetap menjdi miliknya atau menjadi milikku dan aku ganti uangnya“. [HR. Bukhari].
2. Cara Bertaubat dari Harta Haram Hasil Muamalat yang Dilakukan atas Dasar Saling Ridha Orang yang mendapatkan barang atau uang hasil muamalat atas dasar saling ridha, tetapi bentuk muamalatnya diharamkan Allâh Azza wa Jalla , seperti pemberi dan pemakan harta riba saling ridha dalam akad riba yang mereka lakukan; Atau dua orang yang mengadu nasib dalam perjudian (akad gharar) saling ridha apapun yang terjadi; Atau dua orang yang saling ridha melakukan transaksi sogok-menyogok; Atau dua orang yang saling ridha melakukan jual-beli benda-benda najis atau yang diharamkan. Para pelaku muamalat haram ini terkadang tidak tahu bahwa muamalat yang dia lakukan hukumnya haram, dan terkadang ia tahu, tetapi sengaja ia langgar.
a. Untuk orang yang tidak tahu bahwa muamalat yang dia lakukan hukumnya adalah haram, maka cara bertaubatnya saat ia mengetahui muamalat ini diharamkan adalah ia wajib berhenti dan tidak mengambil barang atau uang yang belum diserahkan rekan transaksi kepadanya bahwa pada.
Adapun barang atau uang yang telah diterima dan telah digunakannya selama ini adalah miliknya dan ia tidak berdosa karena ia tidak mengetahui hukumnya dan semoga Allâh mengampuni kelalaiannya.
Ini berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَواج فَمَنْ جَاءَهُ, مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلىَ اللهِ
Allâh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu ia berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allâh Azza wa Jalla . [al-Baqarah/2:275]
Ayat ini menjelaskan bahwa harta hasil riba yang telah diterima dan telah digunakan sebelum riba diharamkan tetap menjadi milik yang menerima. Dan hukum orang yang tidak tahu bahwa hukum riba adalah haram sama dengan orang yang belum diturunkan kepadanya ayat yang melarang riba.
Maka secara implisit ayat ini berarti bahwa harta riba yang belum diterimanya tidak halal lagi semenjak larangan turun atau semenjak ia mengetahui hukumnya adalah haram.[6]
b. Orang yang Tahu Bahwa Muamalat yang Ia Lakukan Hukumnya Haram Untuk orang yang mengetahui bahwa muamalat yang dia lakukan hukumnya haram namun sengaja ia langgar, maka cara bertaubat dari barang atau uang hasil muamalat jenis ini adalah dengan cara tidak mengambil barang atau uang yang belum diserahkan lawan transaksi kepadanya.
Adapun barang atau uang yang telah diterima atau yang telah habis digunakan maka ia wajib memperkirakan nilainya dan menggantinya, lalu disedekahkan untuk fakir miskin atau kepentingan fasilitas umum, atau untuk baitul maal (kas negara) dalam rangka membersihkan dirinya dari dosa harta haram dan bukan disedekahkan atas nama orang yang memberikannya. Karena status harta tersebut bukan lagi milik si pemberinya. Status baru ini berlaku sejak ia memberikannya dengan suka-rela atas imbalan yang dia dapatkan, meskipun imbalan tersebut hukumnya haram.
Ini berdasarkan atsar dari Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu bahwa ia juga pernah menyita harta para gubernurnya yang dianggap haram lalu ia masukkan ke baitul maal.[7]
Ini menunjukkan bahwa harta haram dimasukkan ke baitul mal yang akan digunakan untuk kemaslahatan umat.
Dan juga boleh diberikan kepada fakir miskin berdasarkan atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu tentang sedekahnya dari harta haram.
Namun, jika kondisi penerima harta haram yang didapat dari transaksi haram yang berdasarkan asas saling ridha adalah seorang fakir miskin maka ia boleh mengambilnya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, hingga ia mendapatkan harta yang halal.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Bila harta haram diberikan kepada orang miskin, maka harta itu tidak menjadi haram lagi di tangannya. Status harta itu ditangannya halal lagi baik. Dan jika pemegang harta haram adalah seorang yang miskin maka ia boleh mensedekahkan harta tersebut untuk dirinya dan juga keluarganya, karena pada diri mereka juga terdapat status kemiskinan, bahkan mereka lebih pantas untuk mendapat harta tersebut“[8].
Ibnu Maudûd berkata, “Harta haram haruslah disedekahkan, jika ia gunakan untuk keperluan pribadinya dan dia adalah orang kaya ia mesti bersedekah dengan sejumlah harta tersebut, dan jika dia adalah orang miskin maka ia tidak perlu bersedekah.”[9]
Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata, “Barangsiapa mendapatkan harta melalui usaha yang haram dan diserahkan dengan hati rela oleh orang yang memberinya, seperti uang hasil menjual arak, uang hasil perzinahan dan upah meramal nasib maka pendapat Ibnu Taimiyah rahimahullah adalah jika dia tidak mengetahui hukum transaksi tersebut haram saat melakukannya, kemudian ia tahu hukumnya haram dan bertaubat maka harta itu halal dimakannya.
Tetapi, jika ia tahu bahwa hukumnya haram sejak awal transaksi kemudian dia bertaubat maka hendaklah ia mensedekahkan harta tersebut, dan harta itu halal bagi orang miskin yang menerima sedekahnya … Dan jika dia sendiri berstatus fakir miskin maka ia boleh mengambil sekedar menutupi kebutuhan pokoknya.”[10]
Ibnu Rajab berkata, “Harta yang harus disedekahkan karena pemiliknya tidak diketahui, seperti harta perampokan dan titipan … menurut qadhi Abu Ya’la boleh dimakan jika pemegang harta tersebut adalah seorang fakir miskin.”[11]
Demikian uraian singkat tentang harta haram, penggunaannya dan cara bertaubat darinya. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan tulisan ringkas ini bermanfaat bagi kita semua.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVI/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Dr. Khalid Al Mushlih, at-Taubah minal Makâsib al Muharramah wa Ahkamuha fil fiqh al Islami, Journal kementrian keadilan, Arab Saudi, edisi 38, Rabiul akhir 1429H, hlm. 13. [2] I’lâm al Muwaqqi’in, III/311. [3] Al-Mumti’ IX/53. [4] Ihya’ Ulumuddin, II/134. [5] Dr. Khalid al Mushlih, At taubah minal makasib al muharramah wa ahkamuha fil fiqh al Islami, Journal kementrian keadilan, Arab Saudi, edisi 38, Rabiul akhir 1429H, hlm. 13. [6] Dr. Khalid al Mushlih, at-Taubah minal Makasib al Muharramah wa Ahkamuha fil fiqh al Islami, Journal kementrian keadilan, Arab Saudi, edisi 38, Rabiul akhir 1429H, hlm. 35. [7] Dr. Abbas al Bâz, Ahkam al Mâl haram fi fiqhil Islami, hlm. 345-346. [8] Syarh al Muhazzab, IX/351. [9] al Ikhtiyar li ta’lil al Mukhtar, III/61. [10] al Fatawa al Kubra, V/421. [11] al qawa’id, hlm. 129-130.
HUKUM-HUKUM MEMBEBASKAN DIRI DARI HARTA HARAM SETELAH BERTAUBAT
Pertanyaan Saya telah membaca banyak fatwa seputar cara berlepas diri dari harta yang haram setelah bertaubat, namun masih belum jelas bagi saya mana yang benar dalam masalah ini, ada kalanya diwajibkan untuk mensedekahkan, ada juga yang mengharuskan untuk dikembalikan kepada pemiliknya, ada juga yang membolehkan untuk dimanfaatkan, maka apakah ada perbedaan antara harta yang haram dengan yang lainnya, manakah pendapat yang benar dalam masalah ini ?
Jawaban Alhamdulillah.
Harta yang haram itu mempunyai beberapa gambaran dan kondisi yang bermacam-macam. Bisa jadi ia haram karena dzatnya atau haram karena cara mendapatkannya. Harta yang haram karena cara mendapatkannya bisa jadi diterima karena sukarela dari pemiliknya atau tanpa dengan sukarela. Bisa jadi pelakunya sudah mengetahui akan keharamannya, atau tidak mengetahui atau karena takwilannya, dan setiap kondisi ada hukumnya tersendiri.
Pertama: Barang siapa yang mencari harta yang haram dzatnya atau apa saja yang dilarang oleh syari’at untuk diperjual belikan, dimanfaatkan atau digunakan, dengan cara apapun, maka tidak perlu dikembalikan kepada pemiliknya, dia pun tidak boleh mengambilnya, ia pun tidak boleh memanfaatkannya untuk jual beli, diberikan sebagai hadiah, dimanfaatkan atau yang lainnya.
Harta yang haram karena dzatnya, maksudnya adalah semua benda yang keharamannya berkaitan dengan dzatnya, seperti; khamr, berhala, babi, dan lain sebagainya.
Kedua: Barang siapa yang mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak benar tanpa izin dan ridho dari pemiliknya, seperti; harta hasil curian, ghasab (mengambil tanpa izin), korupsi dari dana umum, atau yang didapat karena curang dan menipu, bunga riba yang dibayarkan oleh pemiliknya secara darurat dan terpaksa, uang suap yang dibayarkan oleh pelakunya dengan terpaksa untuk mendapatkan haknya, dan lain sebagainya. Harta seperti ini wajib dikembalikan kepada pemiliknya dan ia tidak akan terbebas tanggung jawab kecuali dengan itu.
Jika dia telah terlanjur membelanjakan atau menggunakannya, maka akan tetap menjadi hutang bagi dirinya sampai ia mampu mengembalikannya kepada pemiliknya.
Ibnul Qayyim berkata: “Jika yang diterima telah diambil tanpa ridha dari pemiliknya, juga tidak terpenuhi penggantinya, maka harus dikembalikan kepadanya, jika kesulitan untuk mengembalikan, maka menjadi hutang yang diketahui oleh pemilik harta sebelumnya, jika tidak bisa melunasinya, maka ia kembalikan kepada ahli warisnya, jika tidak mungkin maka ia sedekahkan sejumlah harta tersebut.
Jika pemilik hak memilih untuk mendapatkan pahala pada hari kiamat, maka itu menjadi haknya, jika ia tidak mau kecuali akan mengambil amal kebaikan orang yang mengambil haknya, maka ia sempurnakan sejumlah harta tersebut dan pahala sedekahnya menjadi pahala orang yang mensedekahkannya, sebagaimana yang telah ditetapkan dari para sahabat –radhiyallahu ‘anhum-“. [Zaad Al Ma’ad: 5/690]
Ketiga: Barang siapa yang mencari harta yang haram dengan cara transaksi yang haram, karena ia belum memahami keharaman transaksi ini, atau ia meyakini boleh karena ada fatwa yang terpercaya dari ulama, maka hal ini tidak ada konsekuensi apapun, syaratnya ia bersegera untuk berhenti melakukan transaksi haram tersebut kapan saja ia mengetahui keharamannya, berdasarkan firman Allah –Ta’ala-:
فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ سورة البقرة/275
“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan)”. [Al Baqarah/2: 275]
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Adapun yang tidak ada keraguan di dalamnya menurut kami adalah: apa yang ia terima karena penafsiran atau karena ketidaktahuannya, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) tanpa ada keraguan, sebagaimana tuntunan dari Al Qur’an dan As Sunnah dan ibrah yang ada”. (Tafsir Ayaat Asykalat ‘ala Katsir min Al ‘Ulama’: 2/592)
Beliau pun berkata : “Harta yang didapat oleh seseorang dari bentuk transaksi yang masih ada perdebatan di kalangan umat, karena beda penafsiran dan diyakini bolehnya dengan ijtihad, atau karena taqlid, atau karena sama dengan beberapa ulama, atau karena sebagian mereka telah berfatwa demikian, dan lain sebagainya.
Semua harta yang mereka terima ini, tidak perlu mereka keluarkan, meskipun ternyata setelah itu mereka salah dalam transaksi tersebut dan terjadi kesalahan dalam fatwa…
Seorang muslim yang berbeda penafsiran tersebut dan meyakini bolehnya jual beli, sewa menyewa dan transaksi yang bersumber dari fatwa sebagian ulama, jika telah menerima keuntungan namun ternyata terbukti setelahnya bahwa pendapat yang benar adalah haram, maka harta yang sudah didapat tidak menjadi haram kerena telah mereka terima berdasarkan takwil/penafsiran tadi”. [Majmu’ Al Fatawa: 29/443]
Beliau juga berkata: “Barang siapa yang mengerjakan sesuatu sementara ia belum mengetahui akan keharamannya, lalu setelah itu ia mengetahuinya, maka tidak bisa diberikan sanksi, dan jika ia mengerjakan transaksi ribawi yang diyakini bahwa hukumnya boleh, ia pun telah menikmati keuntungannya, kemudian mendapatkan petunjuk dari Tuhannya dan berhenti, maka tetap menjadi miliknya apa yang telah lalu”. (Tafsir Ayaat Asykalat ‘ala Katsirin min Al Ulama: 2/578)
Fatawa Lajnah Daimah lil Ifta’ disebutkan : “Kurun waktu selama anda bekerja di bank, kami berharap semoga Allah berkenan untuk mengampuni anda, harta yang sudah anda kumpulkan dan anda terima dari pekerjaan di bank pada masa lalu, anda tidak berdosa karenanya jika anda memang benar-benar belum tahu hukumnya”. (Fatawa Lajnah Daimah: 15/46)
Syeikh Al Utsaimin –rahimahullah- berkata: “Jika dia belum mengetahui bahwa hal ini haram, maka baginya semua apa yang telah didapat dan tidak ada dosa, atau karena dia mengikuti fatwa seorang ulama bahwa hal itu tidak haram maka tidak perlu mengeluarkan (harta) apapun, Allah –Ta’ala- telah berfirman:
فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ
“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah”. [Al Baqarah/2: 275]
(Al Liqa Asy Syahri: 19/67 sesuai dengan Maktabah Syamilah)
Keempat : Barang siapa yang mencari harta haram sementara ia mengetahui keharamannya, ia menerimanya atas izin dan ridho dari pemiliknya, seperti; barang yang diterima karena akad yang rusak, gaji pekerjaan haram, keuntungan dari perdagangan haram, gaji melayani perbuatan haram, seperti; persaksian palsu, menuliskan administrasi riba, atau harta suap yang diambil agar yang membayarkannya mendapatkan bagian yang bukan menjadi haknya, atau harta yang ia dapatkan dari hasil judi, undian/lotre, perdukunan dan lain sebagainya.
Maka harta tersebut haram karena pekerjaannya, tidak wajib dikembalikan kepada pemiliknya, sesuai dengan pendapat yang lebih kuat dari kedua pendapat para ulama.
Ibnu Al Qayyim –rahimahullah- berkata: “Jika uang yang diterima itu atas ridho pemiliknya, sebagai imbalan dari pekerjaan yang haram, seperti penukaran dengan khamr, babi, zina atau perbuatan keji lainnya. Maka dalam kasus seperti ini tidak wajib mengembalikan imbalan tersebut kepada yang membayarnya, karena ia bayarkan berdasarkan keinginannya sendiri, dan telah sesuai dengan pekerjaan haram yang dilakukan. Maka tidak boleh terkumpul padanya uang dan barangnya secara bersamaan, karena kalau demikian justru dianggap membantu perbuatan dosa dan permusuhan, dan memudahkan para pelaku kemaksiatan.
Apa yang diinginkan oleh pelaku zina dan perbuatan keji lainnya, jika ia ketahui sudah mendapatkan tujuannya dan meminta kembali uangnya, maka hal ini termasuk yang akan dijaga syari’at untuk melakukannya, dan tidak baik berpendapat demikian”. [Zaad Al Ma’ad: 5/691]
Menurut mayoritas ulama diwajibkan baginya untuk membebaskan diri dari harta haram tersebut dengan cara mensedekahkannya kepada orang-orang fakir dan miskin dan untuk kemaslahatan umum lainnya, dan jika ia telah membelanjakannya untuk keperluannya maka tetap menjadi hutang dan beban bagi dirinya, ia tetap wajib untuk mensedekahkan setelah ia mampu membayarnya.
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Barang siapa yang telah mengambil uang dari barang yang diharamkan, atau jasa yang telah ia kerjakan, seperti; upah dari kuli panggul khamr, upah dari pembuat salib, upah dari pelaku keji, dan lain sebagainya, maka hendaknya ia mensedekahkannya dan bertaubat dari perbuatan tersebut, dan sedekah dari upah tersebut akan menjadi penebus perbuatan sebelumnya, upah tersebut tidak boleh dimanfaatkan, karena sebagai upah yang tercela dan juga tidak boleh dikembalikan kepada pemilik sebelumnya; karena ia sudah melakukan pekerjaan untuk mendapatkannya dan mensedekahkannya, sebagaimana pernyataan para ulama dalam masalah ini, sebagaimana juga pernyataan Imam Ahmad terkait dengan kurirnya khamr, para penganut madzhab Malik dan yang lainnya juga menyatakan sikap yang sama”. [Majmu’ Al Fatawa: 22/142]
Disebutkan di dalam Al Ikhtiyar lita’lil Al Mukhtar (3/61): “Kepemilikan harta yang tercela cara (membebaskan diri darinya) adalah dengan mensedekahkannya”.
Disebutkan di dalam Fatawa Lajnah Daimah (14/32): “Jika pada saat bekerja dengan pekerjaan haram ia mengetahui kaharamannya, maka tidak cukup hanya bertaubat akan tetapi diwajibkan untuk membebaskan diri darinya dengan menginfakkannya di jalan dan amal kebaikan”.
Syeikh Ibnu Utsaimin berkata: “Adapun jika ia telah mengetahui (keharamannya), maka ia membebaskan diri dari riba dengan mensedekahkannya, atau dengan membangun masjid, memperbaiki jalan atau yang serupa dengannya”. [Al Liqa Asy Syahri : 19/67 sesuai dengan Maktabah Syamilah]
Ibnu Qayyim –rahimahullah- telah memilih pendapat bahwa jika ia termasuk orang fakir, maka ia boleh mengambil dari uang tersebut sesuai dengan kebutuhannya, lalu berkata : “Cara membebaskan diri darinya dan bentuk kesempurnaan taubatnya dengan mensedekahkannya, jika ia masih membutuhkannya maka ia boleh mengambil sesuai dengan kebutuhannya dan mensedekahkan sisanya, maka inilah hukum dari semua penghasilan tercela karena buruknya penghasilan tersebut, baik berupa barang maupun jasa”. [Zaad Al Ma’ad: 5/691]
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- lebih cenderung kepada pendapat yang lain, bahwa ia boleh memanfaatkannya dan tidak wajib mensedekahkannya selama ia sudah bertaubat.
Maka beliau berkata: “Adapun jika dia sudah mengetahui keharamannya maka membutuhkan pembahasan, maka bisa jadi ia dikatakan barang siapa yang mendapatkan uang dari menjual khamr sementara ia tahu keharamannya, maka baginya bagian yang telah lalu”.
Demikian juga semua orang yang mendapatkan harta haram, lalu ia bertaubat, jika memang disetujui oleh yang membayarnya, diwajibkan seperti itu termasuk mahar dari perbuatan keji dan mahar perdukunan.
Masalah ini tidak termasuk jauh dari ushul syari’ah, karena syari’at telah membedakan antara mereka yang bertaubat dan mereka yang belum bertaubat sebagaimana di dalam firman-Nya:
فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ
“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan)”.[Al Baqarah/2: 275]
Allah juga berfirman:
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu”. [Al Anfal/8: 38]
Dan yang menguatkan hal ini, bahwa harta tersebut tidak rusak tanpa perbedaan pendapat, akan tetapi bisa disedekahkan atau dikembalikan kepada pezina, atau peminum yang menjadi pecandu atau diberikan kepada si penerima yang bertaubat tersebut.
Jika diberikan kepada pezina atau peminum maka hal ini tidak terbayang ada orang yang berpendapat demikian, meskipun ada ahli fikih yang berpendapat demikian, karena pendapat ini pendapat yang rusak berlipat.
Adapun pendapat yang menyatakan untuk disedekahkan, maka ada beberapa macam:
Akan tetapi dikatakan, orang yang bertaubat ini lebih berhak kepada harta tersebut dari pada orang lain, tidak diragukan lagi jika orang yang bertaubat tersebut tergolong orang fakir, maka ia lebih berhak dari pada orang fakir lainnya. Untuk hal ini ada banyak fatwa yang telah disampaikan. Jika orang yang bertaubat tergolong fakir, maka boleh mengambil sesuai dengan kebutuhannya karena dia yang lebih berhak dari pada orang lain, dan hal itu akan membantu pertaubatannya, jika diminta untuk mengeluarkannya maka justru akan membahayakannya dan tidak bertaubat. Dan barang siapa yang mentadabburi ushul syari’at diketahui bahwa syari’at itu berlemah lembut kepada manusia dalam hal taubat dengan segala cara.
Demikian juga, tidak ada kerusakan dengan pemanfaatan tersebut, karena uang tersebut telah diambilnya dan sudah tidak ada kaitannya dengan pemilik sebelumnya, dzat uangnya tidak haram, hanya saja diharamkan karena membantu lancanya perbuatan haram, dan hal itu sudah diampuni dengan bertaubat, maka harta itu menjadi halal baginya karena kefakirannya tanpa diragukan lagi, dan jika pelaku tersebut termasuk orang kaya maka ada pendapat uang tersebut diambil darinya, dan dengannya akan mempermudah bertaubat bagi siapa saja yang bekerja seperti itu.
Allah –Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:
فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ
“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan)”..[Al Baqarah/2: 275]
Dan Dia tidak berfirman: “Bagi mereka yang telah masuk Islam, juga tidak mengatakan bagi mereka yang menjadi jelas keharaman perbuatan tersebut”.
Akan tetapi Dia berfirman:
فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى
“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba)”.
Larangan itu bagi mereka yang sudah tahu keharamannya akan lebih berat dari pada mereka yang belum tau keharamannya. Allah –Ta’ala- berfirman:
يَعِظُكُمُ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman”. [An Nuur/24: 17]
[Tafsir Ayaat Asykalat ‘ala Katsirin min Ulama : 2/593-596]
Dan di dalam Mushannaf Ibni Abi Syaibah (7/285) : Abdullah bin Numair telah meriwayatkan kepada kami, dari Rabi’ bin Sa’d berkata: “Seseorang telah bertanya kepada Abu Ja’far tentang seseorang berkata: “Teman saya telah mendapatkan harta yang haram, lalu harta tersebut sudah bercampur dengan harta miliknya dan harta milik keluarganya. Kemudian ia baru menyadari apa yang telah ia lakukan, lalu ia berhaji dan berada di dekat Ka’bah ini, maka bagaimanakah menurut pendapat anda ?
Ia menjawab: “Pendapat saya, hendaknya ia bertaqwa kepada Allah dan tidak mengulanginya lagi”.
Syeikh Abdurrahman As Sa’di berkata: “Allah –Ta’ala- tidak menyuruh untuk mengembalikan harta yang sudah diterima dengan akad riba, setelah ia bertaubat. Akan tetapi Dia menyuruh untuk mengembalikan riba yang belum diterima; karena harta tersebut sudah diterima dengan suka rela dari pemiliknya, maka tidak sama dengan harta curian.
Dan karena yang demikian itu akan mempermudah dan memberi semangat untuk bertaubat dari apa yang tidak ada pendapat untuk menghentikan taubatnya dengan mengembalikan perbuatan sebelumnya meskipun sudah terlanjur banyak dan rumit”. [Al Fatawa As Sa’diyah: 303]
Membersihkan Harta dari yang Haram
Sedekah dengan Harta Haram
Mengenai sedekah dengan harta haram, maka bisa ditinjau dari tiga macam harta haram berikut:
Harta yang haram secara zatnya. Contoh: khomr, babi, benda najis. Harta seperti ini tidak diterima sedekahnya dan wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya.
Harta yang haram karena berkaitan dengan hak orang lain. Contoh: HP curian, mobil curian. Sedekah harta semacam ini tidak diterima dan harta tersebut wajib dikembalikan kepada pemilik sebenarnya.
Harta yang haram karena pekerjaannya. Contoh: harta riba, harta dari hasil dagangan barang haram. Sedekah dari harta jenis ketiga ini juga tidak diterima dan wajib membersihkan harta haram semacam itu. Namun apakah pencucian harta seperti ini disebut sedekah? Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Intinya, jika dinamakan sedekah, tetap tidak diterima karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah diterima shalat tanpa bersuci, tidak pula sedekah dari ghulul (harta haram)” (HR. Muslim no. 224).
Ghulul yang dimaksud di sini adalah harta yang berkaitan dengan hak orang lain seperti harta curian. Sedekah tersebut juga tidak diterima karena alasan dalil lainnya yang telah disebutkan, “Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu” (HR. Muslim no. 1014).
Adapun bersedekah dengan harta yang berkaitan dengan hak orang lain (barang curian, misalnya), maka Ibnu Rajab membaginya menjadi dua macam, Jika bersedekah atas nama pencuri, sedekah tersebut tidaklah diterima, bahkan ia berdosa karena telah memanfaatkannya. Pemilik sebenarnya pun tidak mendapatkan pahala karena tidak ada niatan dari dirinya. Demikian pendapat mayoritas ulama.
Jika bersedekah dengan harta haram tersebut atas nama pemilik sebenarnya ketika ia tidak mampu mengembalikan pada pemiliknya atau pun ahli warisnya, maka ketika itu dibolehkan oleh kebanyakan ulama di antaranya Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 264-268.
Kaedah dalam Harta Haram Karena Usaha (Pekerjaan)
Kaedah dalam memanfaatkan harta semacam ini -semisal harta riba- disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin,
“Sesuatu yang diharamkan karena usahanya, maka ia haram bagi orang yang mengusahakannya saja, bukan pada yang lainnya yang mengambil dengan jalan yang mubah (boleh)” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)
Contoh dari kaedah di atas:
Boleh menerima hadiah dari orang yang bermuamalah dengan riba. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)
Boleh transaksi jual beli dengan orang yang bermuamalan dengan riba. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)
Jika ada yang meninggal dunia dan penghasilannya dari riba, maka hartanya halal pada ahli warisnya. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 10)
Contoh-contoh di atas dibolehkan karena harta haram dari usaha tersebut diperoleh dengan cara yang halal yaitu melalui hadiah, jual beli dan pembagian waris.
Di Manakah Menyalurkan Harta Haram?
Dari pendapat terkuat dari pendapat yang ada, harta haram harus dibersihkan, tidak didiamkan begitu saja ketika harta tersebut tidak diketahui lagi pemiliknya atau pun ahli warisnya. Namun di manakah tempat penyalurannya? Ada empat pendapat ulama dalam masalah ini:
Pendapat pertama, disalurkan untuk kepentingan kaum muslimin secara umum, tidak khusus pada orang dan tempat tertentu. Demikian pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Pendapat kedua, disalurkan sebagai sedekah sunnah secara umum, mencakup hal yang terdapat maslahat, pemberian pada fakir miskin atau untuk pembangunan masjid. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Malikiyah, pendapat Imam Ahmad, Hambali, dan pendapat Imam Ghozali dari ulama Syafi’iyah.
Pendapat ketiga, disalurkan pada maslahat kaum muslimin dan fakir miskin selain untuk masjid. Demikian pendapat ulama Lajnah Ad Daimah Kerajaan Saudi Arabia. Tidak boleh harta tersebut disalurkan untuk pembangunan masjid karena haruslah harta tersebut berasal dari harta yang thohir (suci).
Pendapat keempat, disalurkan untuk tujuan fii sabilillah, yaitu untuk jihad di jalan Allah. Demikian pendapat terakhir dari Ibnu Taimiyah.
Ringkasnya, pendapat pertama dan kedua memiliki maksud yang sama yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin seperti diberikan pada fakir miskin. Adapun pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bukan menunjukkan pembatasan pada jihad saja, namun menunjukkan afdholiyah. Sedangkan pendapat keempat dari Al Lajnah Ad Daimah muncul karena kewaro’an (kehati-hatian) dalam masalah asal yaitu shalat di tanah rampasan (al ardhul maghsubah), di mana masalah kesahan shalat di tempat tersebut masih diperselisihkan. Jadinya hal ini merembet, harta haram tidak boleh disalurkan untuk pembangunan masjid. [Disarikan dari penjelasan Syaikh Kholid Mihna,
Dalam rangka hati-hati, harta haram disalurkan untuk kemaslahatan secara umum, pada orang yang butuh, fakir miskin, selain untuk masjid dan tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi si pemilik harta haram. Wallahu a’lam.
BERTAUBAT DARI HARTA HARAM
Oleh Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, MA
Pendahuluan Alhamdulillah, selawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.
Hidup di masyarakat yang heterogen seperti di negeri ini tentunya memiliki dinamika yang berbeda dengan hidup di masyarakat yang homogen. Perbedaan budaya, ideologi, dan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum agamanya tampak dengan nyata. Kondisi semacam ini tentunya menuntut kita bersikap bijak. Dengan demikian kita dapat mewujudkan kepentingan kita tanpa harus bergesekan atau berbenturan dengan aturan, peraturan, norma masyarakat apalagi hukum syariat. Terlebih dalam banyak kesempatan Anda tidak memiliki wewenang dan bahkan keberanian untuk sekedar menunjukkan sikap apalagi melakukan satu perubahan.
Coba Anda bayangkan, ketika Anda belanja di supermarket, Anda menyaksikan khamar, daging babi, dan berbagai barang haram lainnya diperjualbelikan. Atau mungkin pula ketika sebagai penjual, Anda mengetahui dengan yakin bahwa mata pencaharian calon pembeli anda menyimpang alias haram secara syariat. Kondisi semacam ini tentuk mengusik ketenangan batin Anda, sehingga Anda meragukan status halal keuntungan yang Anda peroleh dari bertransaksi dengan mereka.
Alasan Suatu Harta Diharamkan? Secara hukum syariat, suatu harta dapat dinyatakan haram karena dua alasan:
Harta haram karena alasan yang melekat padanya, semisal bangkai, babi, khamar dan yang semisal. Allah Ta’ala berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. [al-Ma’idah/5 :3]
Status haram harta jenis ini berlaku bagi semua orang. Tidak ada bedanya antara yang mendapatkannya dengan cara mencuri, menipu, atau dengan cara membeli, warisan atau hibah atau akad serupa lainnya.
Sahabat Anas ibn Malik Radhiyallahu anhu mengisahkan bahwa sahabat Abu Talhah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal beberapa anak yatim yang menerima warisan berupa khamar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi pertanyaan Abu Talhah ini dengan bersabda: “Tumpahkanlah.” Mendengar jawaban itu, sahabat Abu Talhah berkata, “Tidaklah lebih baik bila khamar itu aku proses agar menjadi cuka?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak.”[1]
Karena keharaman harta ini bersifat permanen dan berlaku atas semua orang maka haram untuk diperjualbelikan.
Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Abbas Radhiyallahu anhuma mengisahkan, “Suatu hari datang seorang lelaki membawa hadiah berupa sekantong minuman khamar untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka menanggapi hadiah ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahukah engkau bahwa Allah telah mengharamkan minuman khamar?’ Lelaki itu menjawab, ‘Tidak’, dan selanjutnya ia berbisik kepada seseorang. Melihat tamunya berbisik-bisik, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya: ‘Apa yang engkau bisikan kepadanya?’ Lelaki itu menjawab, ‘Saya memintanya untuk menjualkan khamar tersebut.’ Menanggapi pengakuan tamunya ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إنَّ الَّذِي حَرَّمَ شُرْ بَهَا حَرَّمَ بَيْعَهَا
“Sejatinya Allah yang mengaharamkan minum khamar juga mengharamkan penjualannya.’”[2]
Keharaman memperjualbelikan harta jenis ini berlaku baik diperjualbelikan secara langsung atau hasil olahannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَ لَمَّا حَرَّمَ عَلَيْهِمْ شُحُو مَهَا أَجْمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ
“Semoga Allah membinasakan kaum Yahudi, sejatinya tatkala Allah Azza wa Jalla mengharamkan lemak hewan ternak atas mereka, maka mereka melelehkannya hingga menjadi minyak, lalu mereka menjualnya dan menikmati hasil penjualannya”[3]
Pembaca yang budiman, keharaman harta jenis ini tidak berubah walaupun di kemudian hari Anda mendapatkan adanya sebagian manfaat atau nilai ekonomis padanya. Karena itu, tidak sepantasnya Anda terkejut apalagi goyah keimanan Anda gara-gara mendengar atau membaca keterangan tentang daging babi yang memiliki manfaat dan nilai ekonomis tinggi.
Percayalah bahwa walaupun daging babi memiliki nilai ekonomis tinggi, namun tetap saja mudarat dampak buruknya berlipat ganda dari manfaatnya. Demikianlah faktanya, setiap yang diharamkan pastilah mudaratnya lebih besar dibanding manfaatnya, karena itu dalam al-Quran al-Karim benda-benda haram disebut dengan al-khabais (benda-benda kotor).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
Menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. [al-A’raf/7: 157]
Berdasarkan ayat ini, sebagian ulama dengan tegas menyatakan. “Segala yang Allah Ta’ala halalkan pastilah baik, bermanfaat bagi kesehatan badan dan keutuhan agama umat manusia. Sebaliknya, segala yang Allah Ta’ala haramkan pastilah buruk, dan merusak kesehatan badan dan keutuhan agama umat manusia.[4]
Adapun harta yang diharamkan karena tata cara memperolehnya terlarang, maka keharamannya hanya berlaku atas sebagian orang saja, yaitu atas orang yang mendapatkannya dengan cara haram. Hasil curian haram atas pencuriannya, namun halal bagi pemiliknya. Harta hasil korupsi, maka haram atas koruptornya, sedangkan bagi rakyat maka harta itu halal hukumnya. Dengan demikian, keharaman harta jenis ini hanya berlaku dari satu arah. Sebagimana yang dapat kita pahami dari hukum riba yang ditegaskan pada ayat berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ﴿٢٧٨﴾ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba ( yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu: kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [al-Baqarah /2: 278-279]
Cermatilah bagaimana pada ayat dia atas dengan jelas Allah Ta’ala memerintahkan agar para Rentenir membatalkan bunga/riba yang telah mereka sepakati dan hanya memungut pokok utangnya saja. Dengan cara ini mereka dapat terbebas dari perbuatan menzalimi atau merugikan orang lain dan juga tidak dizalimi atau dirugikan.
Kesimpulannya, orang yang mendapatkan harta ini dengan cara halal maka halal pula harta tersebut baginya. Sebagai contoh sederhana, seorang pencuri haram untuk menikmati hasil curiannya. Namun, tidak diragukan bahwa harta hasil curian itu halal bagi pemiliknya yang sah. Bahkan andai pemiliknya yang sah memaafkan pencuri tersebut maka harta curian itu yang sebelumnya haram atasnya, sekejap berubah menjadi halal.
Dikisahkan bahwa suatu hari Sahabat Safwan ibn Umayyah Radhiyallahu anhu tidur di masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbantalkan bajunya. Di saat terlelap dalam tidurnya, bajunya dicuri oleh seseorang. Namun, pencuri bajunya itu berhasil ditangkap dan segera dihadapkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka segera Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar pencuri itu dipotong tangannya. Mengetahui pencuri bajunya akan segera dipotong tangannya, Sahabat Safwan Radhiyallahu anhu merasa iba, sehingga ia berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah tangannya akan engkau potong karena ia mencuri bajuku? Ketahuilah bahwa aku telah menghalalkan bajuku untuknya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi ucapan Sahabat Safwan Radhiyallahu anhu dengan bersabda:
فَهَلاَّ كَانَ هَذَا قَبْلَ أَنْ تَأْتِيَنِي بِهِ
“Mengapa tidak engkau maafkan sebelum engkau melaporkannya kepadaku?”[5]
Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan, “Dengan penjelasan ini maka jelaslah bahwa orang yang bekerja dengan cara halal, atau menyewakan kendaraan, properti, atau lainnya lalu ia mendapatkan upah, maka upah itu halal dan tidak haram. Baginya, sama saja mengetahui bahwa penyewanya mendapatkan uangnya dengan cara halal atau ia tidak mengetahuinya. Namun, bila ia mengetahui bahwa pembelinya mendapatkannya dengan cara merampas, atau mencuri, atau melalui cara yang tidak halal baginya, maka pada kondisi semacam ini ia terlarang untuk menerimanya sebagai upah atau harga barang dagangannya.”[6]
Penjelasan al-Imam Ibnu Taimiyyah ini selaras dengan praktik Amirul Mukminin ‘Umar Ibnu al-Khattab Radhiyallahu anhu. Suwaid ibn Gafalah mengisahkan bahwa pada suatu hari Sahabat Bilal Radhiyallahu anhu mengadukan kepada Amirul Mukminin perihal beberapa pegawainya yang memungut upeti dalam bentuk minuman khamar dan hewan babi. Mendapat laporan ini, segera Amirul Mukminin ‘Umar Ibnu al-Khattab Radhiyallahu anhu mengeluarkan perintah:
لاَ تَأْ خُذُوْا مِنْهُمْ، وَلَكِنْ وَلَوهم بَيْعَهَا، وَخُذُوْا أَنْتُمْ مِنَ الثَّمَنِ
“Janganlah kalian menerima upeti dalam bentuk khamar dan babi, namun biarkan mereka (orang Yahudi dan Nasrani yang tinggal di negeri Islam) memperjual belikannya kepada sesama mereka. Dan bila telah terjual, maka kalian boleh menerima uang hasil penjualannya.”[7]
Al-Imam Abu ‘Ubaid rahimahullah mengomentari riwayat ini dengan berkata, “Riwayat ini menjelaskan bahwa kala itu petugas khilafah menerima upeti dan pajak tanah dari orang-orang kafir yang tinggal di negeri Islam dalam bentuk khamar dan babi. Dan selanjutnya petugas yang notabene beragamakan Islam itu menjual khamar dan babi tersebut. Praktik semacam inilah yang diingkari oleh Sahabat Bilal Radhiyallahu anhu dan selanjutnya dilarang oleh Khalifah ‘Umar Radhiyallahu anhu. Sebagai solusinya, beliau mengizinkan para petugasnya untuk memungut upeti dan pajak tanah dari hasil penjualan khamar dan babi tersebut, selama yang menjualnya ialah orang-orang kafir tersebut. Alasan beliau membuat keputusan semacam ini karena secara hukum khamar dan babi dianggap sebagai harta kekayaan orang-orang kafir, namun tidak boleh dijadikan sebagai bagian dari harta kekayaan umat Islam.”
Penjelasan ini tentang perubahan status hukum suatu harta seperti ini oleh sebagian ulama ahli fikih dituangkan dalam satu kaidah yang berbunyi:
تَبَدُّلُ سَبَبِ الْمِلْكِ قَائِمٌ مَقَامَ تَبَدُّلِ الذَّاتِ
“Pergantian jalur kepemilikan suatu benda, dianggap sebagai pergantian fisik benda tersebut.”[8]
Inilah kedua alasan diharamkannya suatu harta atas umat Islam, yang masing-masing alasan ini memiliki perincian yang beraneka ragam sebagaimana dijelaskan di atas.
Cara Bertaubat Dari Kedua Jenis Harta Haram Adapun cara bertaubat dari dosa memiliki atau mendapatkan kedua jenis harta haram tersebut di atas maka dengan cara:
وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [al-Baqarah/2: 279]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَأْ خُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ صَاحِبِهِ لَعِبًاجَادًّا وَإِذَا أَخَذَأَحَدُكُمْ عَصَاأَخِيهِ فَلْيَرْدُدْهَا عَلَيْهِ
“Janganlah engkau mengambil barang milik temanmu, baik hanya sekedar bermain-main atau sungguh-sungguh. Dan bila engkau mengambil barang milik saudaramu, maka segera kembalikanlah kepadanya.”[9]
Pada hadits lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لأِحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْشَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ دِيْنَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa pernah melakukan tindak kezaliman kepada seseorang, baik dalam urusan harga dirinya, atau hal lainnya, maka segeralah ia meminta untuk dimaafkan, sebelum tiba hari yang tiada lagi dinar atau dirham. Bila hari itu telah tiba maka akan diambilkan dari pahala amal salehnya dan diberikan kepada orang yang ia zalimi sebesar tindak kezalimannya. Dan bila ia tidak memiliki pahala kebaikan, maka akan diambilkan dari dosa-dosa orang yang ia zalimi dan akan dipikulkan kepadanya.[10]
Namun, bila Anda tidak dapat mengembalikannya kepada pemiliknya karena suatu alasan yang dibenarkan secara syariat, maka sedekahkanlah harta tersebut atas nama pemiliknya. Dengan cara ini, berarti Anda menyiapkan diri dengan menabungkan pahala sebesar hartanya yang Anda ambil. Dengan demikian, bila kelak ia menuntut haknya di hari Kiamat, maka Anda telah menyiapkan pahala sedekah sebesar hartanya yang Anda ambil dengan cara-cara yang tidak benar, sebagaimana ditegaskan pada hadits di atas.
Demikian paparan singkat dan sederhana tentang tata cara bertaubat dari memiliki atau menggunakan harta haram. Semoga paparan singkat dan sederhana ini bermanfaat bagi Anda.
Wallahu Ta’ala a’lam bi al-sawab.
[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 6, Tahun ke-13/Muharram 1435. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim (61153). Telp & Fax 0313940347, Redaksi 081231976449] _______ Footnote [1] HR Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya [2] HR Muslim [3] Muttafaq ‘alaihi [4] Tafsir Ibnu Katsir 3/488 [5] Ahmad, Abu Dawud, al-Baihaqi, dan lainnya [6] Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/330 [7] Riwayat Abu ‘Ubaid dalam kitabnya al-Amwal riwayat no. 115, ‘Abdurrazzaq dalam kitabnya al-Musannaf 6/23, dan lainnya [8] al-Qqwa’id wa al-Dawabit al-Fiqhiyyah al-Mutadamminah li al-Taisir 1/71 [9] Ahmad 4/221 dan lainnya [10] al-Bukhari hadits no. 2317